"Kaum Yahudi dan Perusakan Agama”
Oleh : Redaksi 04 Feb 2009 - 6:51 am
Oleh Adian Husaini
Salah satu hikmah penting yang dapat kita petik dari kasus pembantaian ribuan kaum Muslim di Gaza oleh Israel adalah terbukanya pengetahuan umat manusia tentang watak kaum Zionis Yahudi. Dunia kini bisa melihat secara langsung kebrutalan kaum Yahudi. Kini, bahkan, anak-anak kecil di berbagai belahan dunia pun dengan mudah memahami kejahatan Israel dan sekutu-sekutunya.
Meskipun kejahatan kaum Yahudi ini begitu telanjang, ada baiknya kita merenungkan dengan lebih mendalam, siapa sebenarnya bangsa yang begitu banyak diceritakan kejahatannya dalam Al-Quran ini. Salah satu aktivitas kalangan Yahudi yang banyak disebut dalam Al-Quran adalah hobi mereka dalam merusak ajaran para Nabi, mencampur aduk yang benar dan yang salah, serta menyembunyikan kebenaran. (watch Freemason War on Islam )
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengatahui.” (QS al-Baqarah: 42).
”Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: ”Ini dari Allah.” (dengan maksud) untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka lakukan.” (QS al-Baqarah: 79).
Itulah salah satu hobi kalangan Yahudi: merusak agama dan ajaran para Nabi. Kaum Yahudi juga dikenal sebagai bangsa yang sangat rasialis. Mereka mengaku sebagai satu-satunya bangsa yang menjadi kekasih Allah, atau bangsa pilihan atau the choosen people. (QS 62: 6). Mereka menolak kenabian Muhammad saw, karena Muhammad saw bukanlah dari golongan mereka. Bahkan, kemudian, mereka tidak henti-hentinya menaruh dengki dan dendam kepada Nabi Muhammad saw. (QS 2:89-90, 3:19).
Sikap rasialis kaum Yahudi itulah yang dikritik keras, misalnya, oleh Dr. Israel Shahak, Profesor Biokimia di Hebrew University melalui bukunya, Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994). Sebagai satu ”negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”, tidak peduli di mana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to persons who are defined bu the Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them alone.” (hal. 3)
Karena kedengkian itulah, mereka menolak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Padahal, sebelumnya, mereka juga yang menyebarkan berita kedatangan Nabi terakhir kepada penduduk Yatsrib. Tapi, mereka juga yang menolak kedatangannya. (QS 61:6, 2:41). Tak hanya itu, karena terdesak dan tertindas di Eropa, sebagian kalangan Yahudi kemudian mengembangkan berbagai ajaran baru yang menyimpang dari ajaran para Nabi. Salah satu ajaran yang dikembangkan untuk merusak agama-agama yang ada adalah ajaran humanisme, yang sangat gencar dilancarkan oleh kelompok Freemasonryry. Sebagai organisasi ”misterius”, peran kaum Yahudi dalam Gerakan Freemasonry juga tidak dilakukan secara terbuka. Tapi, dari para aktivis, misi, dan tujuannya, hal itu tampak jelas.
Will and Ariel Durant, dalam The Story of Civilization Part X (Rousseau and Revolution), (New York: Simon and Schuster, 1967), memaparkan peran Freemasonry dalam Revolusi Perancis, tahun 1789. Pada 27 Agustus 1789, Majelis Nasional mengumumkan “The Declaration of the Rights of Man”. Dan pada 27 September 1791, the Constituent Assembly, memberikan hak kewarganegaraan penuh kepada semua Yahudi di Perancis. Dampak Revolusi Perancis adalah penciptaan negara sekular dan pembunuhan serta pengusiran tokoh-tokoh Jesuit dari negara itu. Tentang Freemasonry, dicatat dalam buku ini:
“they had to profess belief in ”the Great Architect of the universe”. No further religious creed was required, so that in general the Freemasons limited their theology to deism.” (hal. 939).
Dalam konteks Indonesia, kita perlu menelaah lebih jauh kelompok Freemason ini. Bagi umat Islam, nama Freemasonryry sudah tidak asing lagi. Organisasi ini pernah beroperasi di Indonesia selama 200 tahun. Pada tahun 2004, Pustaka Sinar Harapan Jakarta menerbitkan sebuah buku berjudul Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Buku karya Dr. Th. Steven ini aslinya berjudul “Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indië en Indonesië 1764-1962.” Pada halaman persembahan, tertulis: ”Dipersembahkan kepada para anggota dan mantan anggota dari Tarekat Mason Bebas di Hindia Belanda dulu dan di Indonesia.” Sedangkan sampul bukunya dihiasai dengan foto pelukis Raden Saleh dan Gedung Loge ”Ster in het Oosten”, yang sekarang menjadi Gedung Bappenas.
Dijelaskan, bahwa misi organisasi ini adalah: ”Setiap insan Mason Bebas mengemban tugas, dimana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.”
Cermatilah misi Freemasonry ini! Yakni, “menghapus pemisah antar manusia!”. salah satu yang dianggap sebagai pemisah antar manusia adalah ”agama”. Maka, jangan heran, jika banyak manusia kemudian berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau, ”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.” Siapa pun Tuhan itu, tidak dipedulikan. Yang penting Tuhan! Ada yang menulis bahwa agama adalah sumber konflik, sehingga perlu dihapuskan secara perlahan-lahan. Freemasonry menyatakan tidak memusuhi agama, tetapi misinya jelas menghapus pemisah antar manusia, termasuk di dalamnya adalah agama.
Dalam buku karya Dr. Steven tersebut ditulis: ”Dalam tarekat Mason Bebas nilai tinggi kepribadian manusia berada di latar depan. Manusia sebagai individu dalam pemikiran Masonik ditempatkan secara sentral. Pekerjaan, pekerjaan rohani, dalam Tarekat Mason Bebas diarahkan pada penemuan wujud diri sendiri. Erat berhubungan dengan ini, asas-asasnya bertujuan memajukan apa yang dapat mempersatukan manusia dan melenyapkan apa yang dapat memisahkan manusia.” (hal. 2). Juga disebutkan, bahwa, ”Manusia mempunyai kemampuan dan hak untuk membentuk suatu kesadaran norma sendiri.” (hal. 3).
Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia. Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemasonry segera menyebar luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya. Prinsip Freemasonry adalah “Liberty, Equality, and Fraternity”. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996).
Tentu, di tengah dunia yang dipenuhi dengan diskriminasi dan penindasan, jargon-jargon Freemasonry menarik banyak orang. Membaca buku karya Dr. Steven tersebut, cukup kuat adanya indikasi pengaruh pemikiran Freemasonry terhadap gagasan pengembangan nasionalis sekular di Indonesia. Sebagai perbandingan, dapat diambil juga kasus yang terjadi di Turki Utsmani. Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Freemasonryry (Terj.), mengungkap upaya kaum Freemasonry di Turki Utsmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme.
Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Utsmani, Mustafa Rasid Pasya, August Comte menulis, “Sekali Utsmaniyah mengganti keimanan mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat dapat tercapai.” Comte yang dikenal sebagai penggagas aliran positivisme juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Sikap anti-agama diantara para tokoh Freemasonry juga sangat jelas. Salah satunya dilakukan oleh Abdullah Cevdet, tokoh Gerakan Turki Muda. Ia menulis dan menerjemahkan lebih 70 buku. Pada pengantarnya untuk terkemahan buku Akli Selim (Akal Sehat), ia menulis:
”Akli Selim (akal sehat) adalah pemberontak yang suci, dan gelora kecintaan padanya terbakar dalam hati kita dan tidak akan pernah dapat dipadamkan... Tuhan kita adalah virtue (nilai kebaikan), namun virtue tidak akan mungkin terwujud tanpa kebebasan.”
Karena teracuni oleh ajaran Freemasonry, Abdullah Cevdet menjadi begitu benci pada Islam. Menurut sejarawan Turki, Konyali Ibrahim Hakki, ketika meninggal, jenazahnya diantar ke masjid Aya Sofia. Tapi, para imam menolak untuk memberikan upacara pemakaman secara Islam. Akhirnya, peti jenazahnya diambil alih oleh dewan kota.
Paham humanisme sekular adalah paham Freemasonry. Kaum Freemasonry menegaskan, mereka menolak campur tangan agama dalam tempat-tempat pemujaan mereka (loge). Seorang anggota Freemasonry di Indonesia, dalam sebuah suratnya kepada Wakil Suhu Agung Freemasonry Hindia Belanda, Carpentier Alting, menulis: ”Secara tepat, politik tidak diizinkan masuk ke dalam Tarekat, dan hal yang sama berlaku untuk agama.” (Dr. Th Steven, hal. 476).
Konsep kesetaraan (egalite) antara manusia yang menjadi slogan Freemasonry sebenarnya juga bersifat ambigu. Sebab, dalam organisasi ini pun, manusia dibeda-bedakan tingkatannya. Tapi, ke seluruh dunia, mereka menggelorakan paham kesetaraan. Padahal, kaum Yahudi sendiri tidak merasa setara dengan manusia lainnya. Praktik seperti ini juga bisa kita lihat pada sistem dan aturan PBB. Hanya lima negara yang mendapatkan hak istimewa memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Hingga kini, kita melihat, hukum internasional pun tidak dapat menjangkau hak istimewa yang dimiliki Israel.
Salah satu gagasan humanisme yang disebarluaskan secara universal adalah konsep HAM, yang menolak berdasarkan pada agama. Maka, jangan heran, jika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditetapkan tahun 1948 sarat dengan muatan humanisme dan tidak berdasarkan agama tertentu. Mereka meletakkan nilai-nilai kemanusiaan di atas agama-agama. Karena itulah, sejumlah pasalnya jelas-jelas bertabrakan dengan konsep Islam. Kata mereka, konsep HAM itu universal dan bisa diterima semua umat manusia. Faktanya, dunia Islam menolak pasal 16 dan 18 DUHAM (tentang kebasan perkawinan dan kebebasan untuk pindah agama). Dunia Islam mengajukan gagasan alternatif dalam Deklarasi Kairo yang tetap mempertahankan faktor agama dalam konsep perkawinan dan kebebasan beragama.
Kaum Yahudi tentu saja banyak yang aktif di organisasi seperti Freemasonry ini. Di Turki Utsmani, tokoh-tokoh Yahudi di Freemasonry memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran para aktivis Gerakan Turki Muda. Bahkan, kuat sekali indikasinya, Yahudi merancang dan mendominasi arah organisasi lintas agama ini. Dan ini sangat bisa dipahami. Selama ribuan tahun Yahudi menjadi korban penindasan kaum Kristen di Eropa. Dengan berkembangnya aktivitas Freemasonry, maka secara otomatis, penindasan terhadap Yahudi bisa semakin diminimalkan. Karena itulah, di Eropa organisasi yang membawa misi kaum Templar ini menjadi musuh Gereja.
Cukup banyak bukti yang menunjukkan besarnya pengaruh Freemason dalam pembentukan ideologi dan pemikiran Turki Muda. Ketika itu, aktivis Freemasons memiliki hubungan erat dengan kelompok Osmanli Hurriyet Cemiyati (The Ottoman Freedom Society) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemason adalah Cleanthi Scalieri, pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye), yang keanggotaannya meliputi sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi koran Istiqbal dan Prince Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemasonry Mesir). Scalieri memiliki kedekatan hubungan dengan para pejabat penting Utsmani. Dari sinilah, nucleus Gerakan Turki Muda dilahirkan. Fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa kepemimpinan Scalieri menentukan sejumlah elemen Gerakan Turki Muda. Sampai sekitar 1895, loji-loji Freemason sebagian besar “bermain” dalam bentuk klendestine dan menghindari kontak langsung dengan kelompok-kelompok Turki Muda. Tetapi, faktanya, anggota-anggota loji Freemason memainkan peranan penting dalam proses liberalisasi dan oposisi terhadap Sultan Abdul Hamid II. Sebagai contoh, anggota loji Scalieri yang bernama Ali Sefkati. Ia adalah editor Koran Istikbal. Ia mempunyai kontak dan aktivitas yang luas di berbagai kota di Eropa. Aktivitas politik Scalieri juga didukung oleh kekuatan-kekuatan besar, terutama Inggris. Pentingnya Ali Sefkati bagi Freemasons sejalan dengan hubungan dekatnya dengan pemimpin CUP, Ahmed Riza. Bahkan, lingkaran pimpinan CUP sekitar Ahmed Riza, juga mencakup sejumlah tokoh Freemasons, seperti Prince Muhammad ‘Ali Salim, pimpinan Freemasons Mesir, yang telah diketahui oleh Sultan sejak pertengahan 1890-an. Juga, di antara aktivis kelompok ini adalah Talat Bey, yang bergabung dengan loji Macedonia Risorta, tahun 1903. (Lebih jauh, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam, (Jakarta: GIP, 2004).
Meskipun mengaku bukan sebagai satu agama tersendiri, tetapi Freemasonry juga memiliki ajaran ketuhanan dan tata cara ritual tersendiri. Buku Dr. Th Steven dihiasi dengan banyak foto tempat-tempat pemujaan Freemasonry di Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan, Palembang, dan sebagainya. Sejumlah tokoh nasional juga disebutkan menjadi anggotanya. Siapakah Tuhan yang dipuja pengikut Freemasonry? Tidak jelas!
Dengan memposisikan dirinya di luar agama-agama yang ada, maka Freemasonry lebih mengedepankan problematika kemanusiaan, lintas agama. Humanisme menjadi paham panutan. Misi kemanusiaan yang tidak berdasarkan agama inilah yang ironisnya, kini dicoba dikembangkan dalam berbagai buku studi dan pemikiran Islam. Sadar atau tidak, masuknya misi ini dimulai dengan upaya untuk menghilangkan klaim kebenaran (truth claim). Jika umat beragama tidak lagi meyakini kebenaran agamanya sendiri, maka dia menjadi pembenar semua agama. Sikap netral agama dianggap sebagai sikap ilmiah, elegan, dan terpuji. Orang yang meyakini kebenaran agamanya sendiri dianggap sebagai orang jahat, arogan, dan tidak toleran.
Simaklah berbagai pernyataan berikut yang sejalan dengan pemikiran lintas agama gaya Freemasonry. Dalam buku Agama Masa Depan, karya Prof. Komaruddin Hidayat (rektor UIN Jakarta) dan M. Wahyuni Nafis, ditulis: “Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda.” (hal. 130).
Dalam sebuah buku berjudul Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama (2008) dikatakan: “…bila Anda telah menancapkan komitmen untuk membangun rumah tangga beda iman, jalani dengan tenang dan sejuk dinamika ini. Tidak perlu dirisaukan dan diresahkan. Yang terpenting, mantapkan iman Anda dan lakukan amal kebaikan kepada manusia. Semua itu tidak percuma dan sia-sia. Beragama apapun Anda, amal kebaikan dan amal kemanusiaan tetap amal kebaikan. Pasti ada pahalanya dan akan disenangi Tuhan.” (hal. 235).
Konsep humanisme sekular jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebab, umat Islam mendasarkan rasa dan hubungan kemanusiaan berdasarkan atas iman Islam. Bukan perasaan kemanusiaan semata. Karena itu, misalnya, Islam jelas menolak konsep perkawinan sesama jenis dan lintas agama, meskipun didasarkan atas dasar kemanusiaan. Dalam Islam, persaudaraan atas dasar iman lebih tinggi nilainya dibandingkan persaudaraan darah. Disebutkan dalam Al-Quran:
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu orang tua sendiri, anak, saudara kandung atau keluarga. Mereka itulah yang Allah telah tuliskan keimanan di hatinya dan menguatkannya dengan pertolongan dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap (limpahan rahmat) Allah. Mereka itulah "hizbullah". Ketahuilah, bahwa sesunggguhnya "hizbullah" itulah yang pasti menang." [al Mujadalah:22].
Jika umat Islam kini menggelorakan semangat memboikot produk-produk Yahudi atau para pendukungnya, seharusnya yang perlu diboikot pertama kali adalah paham-paham produksi kaum Yahudi yang jelas-jelas merusak aqidah Islam dan bertentangan ajaran Tauhid, ajaran para Nabi saw. Wallahu A’lam. [Depok, 3 Februari 2009/hidayatullah.com]
No comments:
Post a Comment